Oleh: Rihadatul ‘Aisy

 

        Hari ini matahari sangat terik membakar kulit. Membuat siswa bahkan guru enggan keluar dari bangunan sekolah yang besar itu. Lapangan basket yang biasanya akan sangat ramai saat jam istirahat pun tampak lengang. Para siswa lebih memilih untuk ke kantin atau hanya berada di kelas masing-masing. Terlalu patah semangat untuk melakukan aktivitas seperti biasanya. Namun, semua hal itu berbanding terbalik dengan Keyra. Perempuan manis itu bahkan tersenyum dan terlihat begitu bersemangat. Tangannya terus memainkan pena di atas kertas; menuliskan hal-hal yang ingin ia sampaikan. Hingga sebuah suara membuatnya berhenti dengan segera.

 Apa yang sedang Ibu Guru lakukan?”

         Hanya ada satu pemikiran dalam kepala Keyra saat ini. Suaranya sangat menggemaskan. Ia lalu menoleh, melihat siapa yang telah bertanya dan membuat kegiatan menulisnya terganggu. Senyum manis semakin mengembang di bibir Keyra, membuat kadar manis di wajah itu bertambah. Di hadapannya saat ini, seorang anak laki-laki menatap dengan wajah polosnya, kepala mungil itu sedikit miring, membuat Keyra mati-matian menahan gemas.

 

Nama kamu siapa, hm? Kenapa bisa ada di sekolah ini?” Heran, tentu saja. Bagaimana bisa ada anak kecil di sekolah menengah atas tempatnya mengajar saat ini.

 

Aku Egan. Di sini bersama Papa, Bu Guru,” balas anak laki-laki itu dengan cengiran yang membuat wajahnya semakin terlihat menggemaskan.

 

Keyra paham sekarang. Egan pasti merupakan anak dari salah seorang guru di sekolah ini. Baru saja ingin mengajukan pertanyaan lain, dia malah keduluan.

 

Ibu Guru sedang apa?”

         Keyra meletakkan penanya, lalu menjawab, “Ibu tadi sedang menulis surat untuk seseorang. Papamu di mana, hm? Kenapa bisa sampai ke sini?”

 Papa ada tadi. Ibu menulis surat untuk siapa? Dan, balon itu untuk apa?” Mata Egan tertuju pada sebuah balon berwarna merah yang berada di atas meja Keyra.

 

Ah ... ini. Tunggu dan lihat, ya.”

 

        Keyra mengambil balon tersebut, kemudian meniup dan mengikat ujungnya. Dia kemudian menggulung kertas yang ditulisi surat tadi, mengikatnya dengan tali, lalu diikatkan lagi ke balon merah. Dia kemudian berjalan ke arah jendela, membukanya, dan menerbangkan balon tersebut bersama surat yang telah terikat di sana.

 

Keyra kembali mendekati Egan yang menatapnya bingung, lalu menjelaskan, “Balon itu menerbangkan surat yang Ibu tulis supaya bisa sampai dan dibaca oleh kekasih Ibu nanti.” Ada senyum lembut bercampur sedih di sudut bibir perempuan itu.

 

Apa kekasih Ibu berada sangat jauh dari sini?”

 

        Benar-benar menggemaskan. Wajar bagi anak seusia Egan banyak bertanya karena rasa ingin tahunya yang sangat tinggi.

Begitulah,” jawab Keyra singkat.

 

        Baru saja bocah itu ingin melayangkan pertanyaan lain, pintu ruangan kerja Keyra terbuka, menampilkan sosok pria dengan balutan kemeja dan celana bahan khas seorang guru. “Egan, ayo pulang! Mama sudah marah-marah dari tadi,” ucapnya sembari mendekati Egan.

 

        Tubuh mungil itu terangkat ke dalam gendongan menggunakan satu tangan. Menoleh ke arah pemilik ruangan dan tertangkaplah wajah datar dengan tangan bersedekap. Melihat Keyra yang seperti itu, Rega hanya bisa menggaruk lehernya yang tidak gatal sama sekali. Sedikit menunduk, namun tidak bertahan lama ia mengangkat kepala kembali guna menatap orang di depannya yang masih dalam posisi sama. Menghela napas, berusaha menyadari kesalahan yang telah ia lakukan. Sedangkan yang digendong hanya diam memperhatikan dua orang di dekatnya. Keheningan tercipta beberapa saat, hingga Rega tak kuasa lagi menahan dan membuka suara terlebih dahulu.

 

Baiklah ... baiklah. Apa salahku, Key?” tanya Rega tanpa mau berbasa basi. Mereka bukanlah dua orang asing atau sebatas teman kerja. Kedekatan mereka lebih dari itu. Selalu bersama sejak duduk di bangku SMP membuat keduanya mengerti sifat satu sama lain.

 

Masuk ke ruanganku tanpa mengetuk ataupun permisi terlebih dahulu. Apakah itu sopan, Pak Rega? Kau bahkan tidak menyapaku terlebih dahulu.” Jangan tanyakan bagaimana kesalnya seorang Keyra saat ini. Mereka memang sahabat, tapi bukan berarti bisa seperti itu. Keyra memang sudah dididik dari kecil tentang sopan santun oleh keluarganya.

 

Astaga, Key. Iya ... iya, maafkan aku, oke? Aku hanya sedang bergegas. Istriku meminta untuk cepat pulang, jadi yang ada di pikiranku adalah cepat-cepat membawa Egan pulang.”

 

Keyra menghela napas mendengar penjelasan Rega. “Lain kali jangan diulangi,” ucapnya memperingati.

        Rega mengangguk asal, entah ia akan ingat atau tidak. Anehnya, jika itu sejarah, maka ia pasti sangat ingat—seperti sudah permanen dalam otaknya. “Kalau begitu aku permisi dulu, ya. Takut kena amuk di rumah,” katanya, membuat Keyra tertawa pelan.

 

Dadah Ibu Guru, sampai bertemu lagi!” pamit Egan dengan tangan yang dilambai-lambaikan. Sungguh sangat menggemaskan, tidak seperti papanya yang sangat menyebalkan.

 

        Setelah kepergian mereka berdua, keadaan kembali menjadi hening. Keyra bersiap-siap untuk pulang karena bel sekolah sudah berbunyi sejak lima belas menit lalu. Ia kemudian membereskan barang-barang, lalu pergi dan tidak lupa mengunci pintu ruangannya.

 

*

         Hari ini Keyra sudah siap dengan setelan yang terbilang sederhana, namun cukup manis. Ia menggunakan gaun putih polos dengan lilitan pita berwarna hitam di pinggangnya. Dua hari lalu Rega mengirimnya sebuah pesan bahwa ia diundang untuk datang ke pesta ulang tahun Egan. Ia bahkan sudah menyiapkan hadiah yang bagus, yaitu sebuah mobil-mobilan yang terbuat dari besi. Ia tidak sabar melihat bagaimana raut wajah bahagia Egan nantinya—karena setahunya Egan sangat menyukai mobil-mobilan.

 

        Begitu sampai, ia langsung disambut oleh Rega dan istrinya. Mereka mempersilakan Keyra untuk masuk. Tidak banyak yang diundang; hanya beberapa kerabat dan teman dekat, selebihnya adalah teman-teman Egan sendiri.

Rega yang sedari tadi memperhatikan Keyra terlihat heran. Perempuan itu terlihat seperti sedang mencari-cari sesuatu.

 

Key, ada apa? Kehilangan sesuatu?” tanyanya kemudian.

 

Tidak. Aku tidak kehilangan apa pun. Di mana Egan? Bukankah ini pesta ulang tahunnya?” tanya Keyra yang masih terlihat bingung.

 

        Meski sedikit heran, Rega tetap mengangguk paham. “Benar, ini pestanya Egan. Sebentar, aku panggilkan, ya. Egan! Ke sini, Nak!” panggilnya cukup keras. Ia sesekali kembali melirik Keyra yang cukup aneh hari ini. Apa sahabatnya ini tidak bisa mengenali Egan, mengingat mereka terakhir bertemu saat anak lelakinya itu berusia tujuh tahun.

 

Ada apa, Papa?” tanya Egan bingung.

 

Apa kau ingat siapa ini?” Rega menunjuk Keyra.

 

        Egan menatap Keyra yang melongo ke arahnya, lalu tersenyum. “Ah, Ibu guru! Tentu aku mengingatnya, Papa. Ibu Guru ... bagaimana kabarmu?” Senyuman masih terpatri di wajahnya.

 

Kau ... Egan? Tapi, bagaimana bisa...? Seingatku, kau masih kecil. Bukankah ini ulang tahunmu yang kesepuluh?”

 

Egan sontak bingung dengan sikap aneh Keyra. Melihat itu, Rega pun menghela napas.

 

Ini bahkan ulang tahunnya yang ketujuh belas, Key. Ada apa denganmu, hm? Kau tidak menghitung hari-harimu lagi?"

 

Apa sudah selama itu?

 

Astaga, Keyra lupa menghitung hari. Bahkan melihat kalender saja tidak.

 

        Melihat wajah sendu Keyra, Rega kembali menghela napas. “Kau terlalu sibuk dengan kertas dan balonmu, Key. Entah sudah berapa banyak balon yang kau terbangkan. Sudahlah, Key. Berhentilah! Ia tidak akan kembali lagi. Uruslah hidupmu dengan baik. Sudah cukup lima belas tahun ini kau menantinya. Lihat wajahmu; sudah ada keriput di sana. Kau bahkan tidak peduli dengan sekitarmu. Kau ingat pertama kali bertemu Egan? Kau bahkan tidak mengenalnya. Padahal aku sering menceritakannya padamu. Aku mohon, berhentilah, Key! Garamu tidak akan kembali!”

 

A-aku ... hiks!” Derai air mata Keyra bercucuran tanpa henti.

 

        Pesta itu pun berakhir dengan pilu. Gara, nama yang teramat Keyra rindukan. Kekasihnya yang sudah lama hilang akibat kecelakaan pesawat, namun jasadnya tidak pernah ditemukan, hingga Keyra mengirimkan beratus ribu balon dengan surat yang diikatkan pada mereka. Menerbangkannya. Berharap sampai pada sang kekasih tiap harinya. Hingga ia tidak peduli dengan sekitarnya dan melupakan waktu. [*]


About Author

        Rihadatul ‘Aisy


Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Pondok Pesantren Diniyah Limo Jurai - Skyblue - Powered by Blogger - Designed by Irsyad von Eden Charlotte -