Peristiwa ini terjadi sekitar tahun 2000 waktu aku kuliah di Lipia GB Jakarta. Waktu itu aku ngekos dengan seorang kawan berasal dari Lampung, Tri Mulyono namanya. Tempat kos kami di jalan Buncit Raya, rumah buk Zainab, orang Betawi.
Pada suatu Minggu aku pergi ke Jakarta Kota untuk suatu keperluan. Dari jalan Buncit aku naik Kopaja ke Pasar Senen. Dari Senen aku naik angkot menuju Jakarta kota. Hari itu cukup cerah. Jalanan di Senen lumayan ramai seperti biasa. Orang-orang hilir-mudik untuk keperluan masing-masing. Kendaran simpang-siur mengangkut penumpang ataupun kendaraan pribadi.
Dari pasar Senen aku stop angkot berwarna biru muda. Seingatku aku duduk di arah belakang. Beberapa menit kemudian seorang lelaki paroh baya naik di daerah tak jauh dari Senen. Di tangannya ada kantong plastik berwarna hitam. Dia duduk persis di hadapanku. Tiba-tiba suatu benda di dalam katong itu bergerak sehingga aku dan penumpang lain kaget.
" Maaf,
Bang. Maaf, Pak..Mbak.." katanya seperti bersalah.
" Apaan
isinya, Bang." kataku.
"
Burung..bagus..bisa bicara..." katanya.
" Beneran,
Bang." katanya lagi meyakinkan.
Tiba- tiba
benda yang katanya burung itu berkicau.
"
"Assalamualaikum," kata si pemilik.
Burung itu membeo,
" Assalamualaikum.."
Aku mulai tertarik dan ingin tahu lebih. Orang lain di dalam angkot itu ikut bicara," Hebat..Dapat di mana, Bang ?"
" Tadi
tiba-tiba burung ini terbang menabrak
jendela kaca toko lalu saya ambil. Sekarang mau saya bawa ke pasar
burung untuk dijual, "
" Mau dijual berapa, Bang?" kata penumpang itu lagi.
" Wah.. Ini burung mahal. Kalau diikutkan lomba burung pasti menang. Tapi kalau ada bapak- bapak yang mau beli biar saya kasih murah saja biar saya tak jadi ke pasar burung," ujarnya.
Tiba-tiba
burung itu bersuara lagi. Keras suaranya.
" Boleh
liat nggak, Bang," kataku.
"
Oh..tentu saja,"
Orang itu
sedikit membukakan ujung kantong itu. Memang ada seekor burung.
Seorang di dalam angkot yang duduk di dekat sopir menimpali," Benar tu, Bang. Itu burung mahal. Sayang saya tak bawa duit ini. Kalau saya punya duit saya beli tuh. Boleh ngutang nggak, Bang?"
" Oh,
nggak bisa, Pak. Kalau ada bapak-bapak atau mbak yang mau bayar kontar biar
saya kasih murah deh,"
Aku mulai
berfikir. Naluri bisnisku muncul. Memang aku bukan pecandu burung dan tidak
mengerti burung. Tetapi jika bisa dijual lagi, lumayan untungnya. Fikiranku
tertuju pada isi dompetku. Jika uangku cukup tak ada salahnya kubeli lalu ku
jual di pasar burung.
" Emang
mau dilepas berapa duit, Bang?" kata penumpang di sebelahku.
" 150
deh," katanya.
"
Wah...sayang saya tak bawa duit, Bang," ujar penumpang itu," Kalau
saya punya duit saya mau tuh. Abang minat, nggak. Kalau Abang minat biar Abang
aja yang ngambil. Biar saya beli dari Abang nanti. Di mana alamat Abang,"
tambah penumpang itu kepadaku meyakinkan.
Aku mulai
bimbang dan sedikit mulai terpengaruh. Aku raba dompet dan aku keluarkan uang
150 rupiah. Bismillah..semoga berkah.
" Ya deh,
Bang. Biar aku yang beli," kataku.
Akhirnya jual
beli terjadilah. Aku sodorkan uang dan dia memberiku burung yang dikantong itu.
Tak lama setelah itu orang itu turun.
Sesampai di
pasar burung aku minta stop.
Aku turun dan
segera ke pasar burung. Sambil berjalan aku coba mengajak bicara burung itu.
Tapi burung itu diam saja, tidak seperti waktu di angkot tadi. Aku mulai cemas
dan curiga. Ah.. barangkali burung itu kelelahan, hiburku.
Di pasar burung
aku mulai cari tahu tentang burung yang ku bawa, bagus atau tidak.
"Jual
burung, Bang," kata seorang pedagang.
" Iya,
Bang," kataku.
" Coba
liat," katanya.
Dia mengintip
burung itu.
" Wah..ini
burung murahan. Abang dapat di mana?" katanya.
" Tadi ada
yang nawarin di angkot. Tadi bisa bicara. Suaranya bagus. Harganya tadi 150
rebu," jelasku.
" Wah..Abang
ketipu..Hati- hati, Bang. Ini nggak sampai seratus reboan. Sebaiknya Abang
pelihara saja. Beli aja sangkarnya sama makanannya. Burung semacam ini tidak
bisa apa-apa," kata pedagang itu.
Bagai disambar petir aku mendengar penjelasan
tukang burung itu. Celaka aku. Aku tertipu. Ternyata burung ini memang tidak
bisa bicara. Bahkan berkicaupun tidak.
Akhirnya aku
putuskan untuk membeli sangkar dan makanannya. Biar ku pelihara saja.
Hitung-hitung cari pengalam.
Burung dengan
sangkarnya ku bawa ke kosan.
" Beli di
mana, Men?" tanya Tri.
Aku mulai
menjelaskan ceritanya.
Tri agak
meledek," Lhoh, kok nggak bunyi bunyi,"
" Dia lagi
istirahat. Nanti juga bunyi," kataku menghibur diri.
" Ketipu
Ente, Men. Makanya hati-hati di ibu
kota. Ibu kota lebih kejam dari pada ibu tiri,"
Waduh. Celaka
aku. Akhirnya pekerjaanku bertambah satu lagi, piara burung.
Aku coba
mengingat-ingat lagi kejadian tadi. Aku mulai curiga. Jangan-jangan beberapa
orang di angkot itu satu komplotan. Mereka berbagi tugas dan berpencar naiknya.
Ada yang nanya-nanya saja. Ada yang pura-pura ingin beli tetapi tak punya duit.
Ada yang mendorong-dorong orang untuk membeli padalah mereka berkawan semua.
Modus ini banyak terjadi. Waduh..mati aku.
Aku seperti terhipnotis waktu itu sehingga bisa tertipu juga. Mengenai suara
burung ada yang bilang itu suara perut atau ada semacam alat bunyi di mulut si
penipu itu.
Beberapa hari
kemudian si burung mulai sakit-sakitan. Matanya sayu, tak mau makan dan bulunya
kusam. Berselang beberapa hari si burung
dipanggil Sang Khaliq untuk selamanya meninggalkan sangkar . Burung itu
aku kubur di halaman kos-kosan.
Sampai akhir
hayatnya si burung tidak pandai bersuara. Selamat jalan burungku..
Sungai Pua, 22
November 2021.