Oleh: Harmen

         Islam meletakkan posisi orang yang berilmu pada posisi yang mulia. Jika orang yang berilmu  mulia maka  yang menjadikan orang  berilmu tentu lebih mulia lagi. Oleh karena itu Nabi SAW bersabda: __kun aaliman aw mutaalliman.

_ Jadilah orang yang berilmu atau orang yang mengajarkan ilmu.

 

Begitu mulianya seorang guru sampai-sampai Ali bin Abi Thalib berkata," Aku adalah budak orang yang pernah mengajariku meskipun satu huruf."

        Dua putra Harun Ar-Rasyid pernah bertengkar ketika guru mereka, Al Kisai hendak pulang. Mereka bertengkar bukan karena berebut mainan atau makanan melainkan berebut sandal guru. Masing-masing ingin dan merasa paling berhak untuk memasangkan sandal guru.

 

        Bercerita tentang dua putra Harun Arrasyid di atas  saya teringat pula kisah Abdullah bin Mas'ud bersama Nabi SAW. Bagi beliau, Nabi SAW selain Rasul juga guru. Dalam biografi beliau disebutkan bahwa beliau suka mengikuti Nabi SAW ke mana  Nabi pergi. Jika Nabi ketiduran beliau yang membangunkannya; jika Nabi berdiri beliau yang memasangkan sandalnya; jika Nabi duduk beliau yang menjinjingkan sandalnya.

 

        Apabila seorang guru begitu mulianya maka guru tidak punya batas waktu. Artinya seorang guru tetaplah guru bagi muridnya meskipun tidak mengajarnya lagi. Oleh karenanya tidak ada istilah mantan guru apalagi bekas guru. Yang lebih para parah lagi lupa jika beluau guru yang pernah mengajar kita.

 

Memang seorang guru sejati tidak akan pernah berharap sanjungan atau balasan tetapi bagi seorang murid sejati  memuliakan guru adalah suatu keniscayaan.

 

        Saya punya seorang guru yang sering bertemu jika saya memberikan ceramah di masjid Akabah atau di majelis BKMT.  Buk Ida namanya.    Sekarang saya kira umurnya sudah lebih daripada 75 tahun. Beliaulah yang mengajari kami A-B-C; Ini Budi; Ini Ibu Budi; I-ni Bu-di. Memang sederhana ilmu yang beliau ajarkan menurut fikiran kita sekarang tetapi ilmu yang kita dapatkan sekarang dasarnya adalah ilmu yang beliau ajarkan dahulu. Sekalipun titelnya tidak setinggi saya saat ini bagi saya beliau tetap lebih mulia daripada saya.

 

    Setiap kali saya bertemu dengan Bu Ida saya selalu menyapanya dan menyebutnya dalam penghormatan secara khusus atau menyapanya di sela-sela ceramah saya. Setiap kali namanya saya sebut saya lihat wajahnya senang dan bangga, bahkan tidak jarang saya lihat  matanya berkaca-kaca karena terharu bercampur bangga. Saya tidak melakukan itu berpura-pura tetapi memang didorong oleh suatu keharusan memuliakan guru.

 

        Waktu acara Diklat pimpinan pondok di Parabek saya bertemu dengan Bapak Saidan Lubis, guru bahasa Arab saya waktu di MAN Koto Baru. Dalam acara itu beliau salah seorang nara sumber. Begitu bertemu saya langsung mengingatkan beliau dengan nama saya dan memeluknya. Beliau baru ingat lagi dengan saya dan menyebut nama saya tanpa embel-embel ustad atau buya. Bagi saya panggilan seperti itu lebih membahagiakan daripada menyebut status sosial karena lebih terasa akrab tanpa sekat. Di sela-sela materi yang beliau sampaikan beliau menyapa nama-nama muridnya yang hadir sebagai peserta dengan sebutan nama asli: Harmen, Afdhil, didit, sebutan yang bagi kami terasa istimewa daripada   peserta lain.

 

        Pada waktu reuni SMPN Padang Luar beberapa tahun yang lalu saya bertemu dengan Bapak M. Yusuf, guru sejarah ki waktu itu sekaligus wali kelas waktu II-C. Begitu bertemu langsung saya peluk beliau sambul mengingatkan beliau kembali dengan namaku. Beliau terlihat gembira dan ceria seperti dulu. " O..Si Men. Baa kaba kini, Men." ujar beliau. Saya tahu beliau bangga sekali dengan saya waktu beliau jadi Walas II-C, kelas kami waktu itu karena karya saya beberapa kali dimuat di koran Semangat dan Canang dengan mencantumkan kalimat " Siswa Kelas II-C SMPN Padang Luar". Bagi beliau itu suatu kebanggaan. Yang istimewa adalah pemanggilan nama asli saya tanpa embel-embel adalah suatu kebahagiaan.

 

        Pak Yusrizal, guru fikih kami di MAN Koto Baru dan pernah menjadi Kepala Kasi Agam, sekarang sudah sudah pensiun. Hari ini beliau diangkat menjadi kepala pesantren MTI Gobah. Dalam halaqah MKPP di MTI Selaras Air berliau hadir sebagai salah seorang pimpinan pesantren Agam. Ketiga saya berjumpa dengannya saya memeluhknya hangat," Bapak sehat?"

" Alhamdulillah. Baa Si Men. Baa cucu Apak. Sehat?" Bagi saya pertanyaan guru seperti itu suatu kebahagiaan dan bagi seorang guru penyambutan hangat muridnya juga suatu kebahagiaan.

 

        Buya Gusrizal, setiap kali berceramah dan di antara pendengar ada gurunya biasanya beliau berkata," Saya sebenarnya grogi berbicara di hadapan Bapak dan Ibuk pada hari ini karena di antara yang hadir ada guru saya, Ustad Yasri, Pak Mirdas Ilyas, Pak Azwir, Pak Hardi Haitami. " Bagi Ustad Yasri pengakuan guru oleh muridnya yang sekarang sudah menjadi orang besar adalah kebanggaan tersendiri. Maka biasanya beliau tersenyum simpul dan terlihat ada genangan air bangga di pelupuk matanya.

 

Guru tidak pernah jadi mantan guru. Guru sejati sedianya tidak menunggu pujaan muridnya tetapi seorang murid sejati suatu keniscayaan baginya untuk selalu memuliakan guru sampai kapan saja.

 

Selamat hari guru 2021

Sungai Pua, 26 November 2021

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Pondok Pesantren Diniyah Limo Jurai - Skyblue - Powered by Blogger - Designed by Irsyad von Eden Charlotte -