_ Jadilah orang yang berilmu atau orang yang mengajarkan
ilmu.
Begitu mulianya seorang guru sampai-sampai Ali bin Abi
Thalib berkata," Aku adalah budak orang yang pernah mengajariku meskipun
satu huruf."
Dua putra Harun Ar-Rasyid pernah bertengkar ketika guru mereka, Al Kisai hendak pulang. Mereka bertengkar bukan karena berebut mainan atau makanan melainkan berebut sandal guru. Masing-masing ingin dan merasa paling berhak untuk memasangkan sandal guru.
Bercerita tentang dua putra Harun Arrasyid di atas saya teringat pula kisah Abdullah bin Mas'ud
bersama Nabi SAW. Bagi beliau, Nabi SAW selain Rasul juga guru. Dalam biografi
beliau disebutkan bahwa beliau suka mengikuti Nabi SAW ke mana Nabi pergi. Jika Nabi ketiduran beliau yang
membangunkannya; jika Nabi berdiri beliau yang memasangkan sandalnya; jika Nabi
duduk beliau yang menjinjingkan sandalnya.
Apabila seorang guru begitu mulianya maka guru tidak punya
batas waktu. Artinya seorang guru tetaplah guru bagi muridnya meskipun tidak
mengajarnya lagi. Oleh karenanya tidak ada istilah mantan guru apalagi bekas
guru. Yang lebih para parah lagi lupa jika beluau guru yang pernah mengajar
kita.
Memang seorang guru sejati tidak akan pernah berharap
sanjungan atau balasan tetapi bagi seorang murid sejati memuliakan guru adalah suatu keniscayaan.
Saya punya seorang guru yang sering bertemu jika saya
memberikan ceramah di masjid Akabah atau di majelis BKMT. Buk Ida namanya. Sekarang saya kira umurnya sudah lebih
daripada 75 tahun. Beliaulah yang mengajari kami A-B-C; Ini Budi; Ini Ibu Budi;
I-ni Bu-di. Memang sederhana ilmu yang beliau ajarkan menurut fikiran kita
sekarang tetapi ilmu yang kita dapatkan sekarang dasarnya adalah ilmu yang
beliau ajarkan dahulu. Sekalipun titelnya tidak setinggi saya saat ini bagi
saya beliau tetap lebih mulia daripada saya.
Setiap kali saya bertemu dengan Bu Ida saya selalu
menyapanya dan menyebutnya dalam penghormatan secara khusus atau menyapanya di
sela-sela ceramah saya. Setiap kali namanya saya sebut saya lihat wajahnya
senang dan bangga, bahkan tidak jarang saya lihat matanya berkaca-kaca karena terharu bercampur
bangga. Saya tidak melakukan itu berpura-pura tetapi memang didorong oleh suatu
keharusan memuliakan guru.
Waktu acara Diklat pimpinan pondok di Parabek saya bertemu
dengan Bapak Saidan Lubis, guru bahasa Arab saya waktu di MAN Koto Baru. Dalam
acara itu beliau salah seorang nara sumber. Begitu bertemu saya langsung
mengingatkan beliau dengan nama saya dan memeluknya. Beliau baru ingat lagi
dengan saya dan menyebut nama saya tanpa embel-embel ustad atau buya. Bagi saya
panggilan seperti itu lebih membahagiakan daripada menyebut status sosial
karena lebih terasa akrab tanpa sekat. Di sela-sela materi yang beliau sampaikan
beliau menyapa nama-nama muridnya yang hadir sebagai peserta dengan sebutan
nama asli: Harmen, Afdhil, didit, sebutan yang bagi kami terasa istimewa
daripada peserta lain.
Pada waktu reuni SMPN Padang Luar beberapa tahun yang lalu
saya bertemu dengan Bapak M. Yusuf, guru sejarah ki waktu itu sekaligus wali
kelas waktu II-C. Begitu bertemu langsung saya peluk beliau sambul mengingatkan
beliau kembali dengan namaku. Beliau terlihat gembira dan ceria seperti dulu.
" O..Si Men. Baa kaba kini, Men." ujar beliau. Saya tahu beliau
bangga sekali dengan saya waktu beliau jadi Walas II-C, kelas kami waktu itu
karena karya saya beberapa kali dimuat di koran Semangat dan Canang dengan
mencantumkan kalimat " Siswa Kelas II-C SMPN Padang Luar". Bagi
beliau itu suatu kebanggaan. Yang istimewa adalah pemanggilan nama asli saya
tanpa embel-embel adalah suatu kebahagiaan.
Pak Yusrizal, guru fikih kami di MAN Koto Baru dan pernah
menjadi Kepala Kasi Agam, sekarang sudah sudah pensiun. Hari ini beliau
diangkat menjadi kepala pesantren MTI Gobah. Dalam halaqah MKPP di MTI Selaras
Air berliau hadir sebagai salah seorang pimpinan pesantren Agam. Ketiga saya
berjumpa dengannya saya memeluhknya hangat," Bapak sehat?"
" Alhamdulillah. Baa Si Men. Baa cucu Apak.
Sehat?" Bagi saya pertanyaan guru seperti itu suatu kebahagiaan dan bagi
seorang guru penyambutan hangat muridnya juga suatu kebahagiaan.
Buya Gusrizal, setiap kali berceramah dan di antara
pendengar ada gurunya biasanya beliau berkata," Saya sebenarnya grogi
berbicara di hadapan Bapak dan Ibuk pada hari ini karena di antara yang hadir
ada guru saya, Ustad Yasri, Pak Mirdas Ilyas, Pak Azwir, Pak Hardi Haitami.
" Bagi Ustad Yasri pengakuan guru oleh muridnya yang sekarang sudah
menjadi orang besar adalah kebanggaan tersendiri. Maka biasanya beliau
tersenyum simpul dan terlihat ada genangan air bangga di pelupuk matanya.
Guru tidak pernah jadi mantan guru. Guru sejati sedianya
tidak menunggu pujaan muridnya tetapi seorang murid sejati suatu keniscayaan
baginya untuk selalu memuliakan guru sampai kapan saja.
Selamat hari guru 2021
Sungai Pua, 26 November 2021